SEPUTAR PENGADAAN BARANG DAN JASA
oleh : Budi Usman, aktifis Pantura tinggal di Teluknaga Kab Tangerang
Bahasa yang lebih tegas adalah pengelola pengadaan tidak perlu khawatir berhubungan dengan penegak hukum selama tidak melakukan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang dan jasa. Acuan suatu tindakan disebut tindak pidana korupsi adalah UU No.31/1999 yang telah diubah dengan UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Peraturan yang selama ini menjadi pedoman pelaksanaan pengadaan, Keppres 80/2003, perlu dikaitkan dengan UU No.31/1999 untuk dapat efektif menghalangi tindak pidana korupsi.
Pemahaman yang luas mengenai tindak pidana korupsi dalam pengadaan adalah adanya tindakan melawan hukum, untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, kesalahan dalam proses pengadaan (hal ini jamak) tidak selalu dapat dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Pengadaan yang dimulai dengan satu keinginan atau niatan untuk semata-mata untuk mencapai tujuan pengadaan (tidak untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain) pasti terhindar dari tuduhan korupsi. Tetap perlu dicatat bahwa niat seperti itu masih tidak menghilangkan kemungkinan terjadinya kesalahan dalam proses pengadaan. Dalam sistem pengadaan yang dibangun selama ini, keinginan untuk melakukan korupsi dapat ditengarai dengan tingkat transparansi yang terjadi dari suatu proses pengadaan.
Aspek transparansi dalam proses pengadan yang diatur dalam Keppres 80/2003 meliputi antara lain kewajiban mengumumkan pelelangan yang dibarengi dengan memberi waktu yang cukup bagi peserta lelang untuk mempersiapkan penawarannya.
Keppres 80/2003 sudah mengatur bahwa masyarakat dapat mengakses informasi mengenai pengadaan dan melihat hasilnya. Hasil pengadaan bukanlah sesuatu yang harus dirahasiakan. PPK wajib memberikan informasi mengenai pengadaan barang/jasa yang berada di dalam batas kewenangannya kepada masyarakat yang memerlukan penjelasan. Dengan adanya UU No.14/2008 tentang keterbukaan informasi publik (UU KIP), proses dan hasil pengadaan tidak termasuk dalam ketentuan mengenai informasi yang dikecualikan.
Berdasarkan ketentuan tersebut, perbuatan tidak mengumumkan proses pengadaan secara terbuka di surat kabar yang ditetapkan berdasarkan Keppres 80/2003 adalah perbuatan melawan hukum. Selama ini banyak keluhan dari panitia pengadan bahwa seringkali anggaran untuk mengumumkan pelelangan di surat kabar tidak disediakan. Pada kasus ini dapat disebut telah terjadi tindakan melawan hukum karena Pengguna Anggaran wajib menyediakan biaya pengumuman. Bahkan ada kasus, suatu instansi secara sengaja tidak menganggarkan biaya pengumuman untuk tidak memberi kesempatan pelelangan secara terbuka.
Pada tahap pelaksanaan kontrak, yang termasuk korupsi adalah perbuatan curang (misalnya mengurangi kualitas) pada waktu melaksanakan pekerjaan, atau perbuatan curang pada waktu menyerahkan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jika selama ini ada kesan bahwa pelaku usaha tidak dapat dituntut secara hukum karena melakukan korupsi maka dengan ketentuan ini pelaku usaha juga dapat dituntut. Seringkali tindakan ini juga melibatkan unsur pengelola pengadaan, khususnya penerima barang atau pekerjaan.
Pengertian tindak pidana korupsi dalam pengadaan juga dapat terjadi bila terdapat perbuatan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, tentunya secara melawan hukum dengan memaksa penyedia memberi sesuatu atau membayar sesuatu, misalnya komisi atau fee. Pada prinsipnya, semua komisi atau potongan yang terjadi dari suatu transaksi menjadi hak negara
Tak bisa dipungkiri bahwa proses pengadaan barang/jasa merupakan sumber kebocoran utama APBD. Ada beberapa penyebab mengapa persoalan korupsi timbul secara masif, seperti:
a. Aturan main yang kaku, tapi tidak konsisten. Pemda wajib melaksanakan dua aturan yang berbeda: Keppres 80/2003 dan Permendagri 13/2006. Ada perbedaan diantara keduanya, misalnya tidak adanya istilah uang muka kerja dan pembayaran termin dalam Permendagri 13/2006 karena pembayaran kepada pihak ketiga (yakni terbitnya SP2D-LS) baru boleh dilakukan apabila pekerjaan telas selesai dilaksanakan (sudah terjadi serah terima barang/pekerjaan/jasa).
b. Dalam kondisi mendesak, Keppres 80/2003 harus ditabrak. Misalnya ketika suatu aset sangat dibutuhkan, sementara jika melalui proses pengadaan normal membutuhkan waktu lebih dari 30 hari. Dalam hal ini masyarakat tidak mau tahu ada mekanisme macam-macam untuk Pemda bisa menyediakan kebutuhan mereka…
c. Ada kesan aturan dari Pusat dibuat multitafsir, tidak konsisten, atau banyak celah dan kelemahan, agar pihak-pihak tertentu memperoleh keuntungan. Hal ini biasanya dimanfaatkan oleh instansi vertikal yang berada di daerah yang memiliki anggaran minim untuk meningkatkan kesejahteraan mereka…
d. Dalam politik ekonomi dikenal istilah uang pelicin (grease money) yang ternyata memperoleh pembenaran dari para birokrat. Uang pelicin sering tidak dikategorikan sebagai korupsi “besar” atau berefek jangka panjang, sehingga selalu dibiarkan. Seolah-olah inilah cara untuk “meningkatkan kesejahteraan pegawai rendah”. Akibatnya, selalu dicari celah untuk melakukan PL, misalnya dengan cara memecah-mecah nilai proyek pengadaan sehingga tidak ahrus melalui lelang…
e. Daerah sendiri belum banyak yang memiliki keberanian untuk mendisain regulasi terkait pengadaan barang dan jasa. Mengapa tidak dicoba membuat Perda tentang pengadaan barang/jasa? Pemerintah sendiri tidak pernah menjelaskan secara tegas apakah kebijakan seperti ini bisa dibuat oleh daerah atau tidak. Selama ini yang ahli dan berkompeten untuk menjelaskan, melatih, menguji (dan meluluskan), dan membuat regulasi hanyalah BAPPENAS. BAPPENAS sebagai lembaga negara yang mengurusi perencanaan diberikan wewenang juga untuk MELAKSANAKAN segala aspek terkait pengadaan barang/jasa.
f. Efek dari persoalan-persoalan di atas adalah: aparatur di daerah menghindar dari penunjukan sebagai panitia lelang, bahkan untuk jadi PPTK pada kegiatan pengadaan yang dipihak-ketigakan. Kenapa? Karena kuatir menjadi ATM Berjalan aparat dari instansi vertikal… Ini sangat menyedihkan! Pembangunan fasilitas dan penyediaan pelayanan publik menjadi sangat terganggu…
Uten Sutendy Pengamat Sosial Politik, Direktur Media Komunika dan Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES) mengatakan bahwa
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah berhasil mengungkap berbagai kasus korupsi di sejumlah instansi birokrasi pemerintah, mulai dari level pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, anggota dewan, dan sejumlah pejabat penting di kejaksaan. Hingga saat ini sudah lebih dari 27 pejabat walikota, bupati, dan gubernur di tanah air yang masuk dalam perangkap KPK karena terlibat dalam kasus korupsi sehingga menimbulkan kerugian Negara mencapai ratusan milyar rupiah.
Ketika pemerintahan reformasi berkuasa, mulai ada angin perubahan dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa. Pemerintah era reformasi mengeluarkan sejumlah aturan untuk mengeleminir kecenderungan tindakan korupsi di lingkungan instansi pemerintah. Upaya strategik yang dilakukan diantaranya ialah membuat dan mengeluarkan aturan bagi kegiatan pengadaan barang dan jasa melalui Kepres No. 80.
Dalam Kepres tersebut diatur, tiap pengeluaran uang Negara dari APBD atau APBN yang nilainya di atas 50 juta harus dilakukan melalui mekanisme tender secara terbuka, yaitu diumumkan di surat kabar lokal dan nasional yang sudah ditentukan. Pola ini dilakukan untuk memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada rekanan yang ingin ikut serta dalam kegiatan tender, sehingga secara tidak langsung dapat menutup celah pintu masuk bagi para oknum pejabat untuk berkolaborasi atau berkoalisi dengan kroni atau kolega terdekat dalam melakukan tindakan korupsi terhadap dana APBD atau APBN.
Di dalam Kepres dijelaskan peserta tender yang nilai penawarannya paling rendah atau dokumennya paling lengkap adalah yang berhak dinyatakan sebagai pemenang. Sebaliknya, dokumen perusahaan yang tidak memenuhi persyaratan sesuai Kepres atau nilai penawarannya tinggi, sekalipun perusahaan tersebut milik seorang pengusaha yang menjadi kroni atau kolega terdekat, mitra atau rekan lama si oknum pejabat, maka perusahaan tersebut tidak berhak menjadi pemenang atau mendapatkan pekerjaan.
Menurut Uten Sutendy , belakangan muncul lagi beberapa modus baru yang dibangun oleh para oknum pejabat—diantaranya bekerjasama dengan anggota dewan-- agar mereka bisa lolos dan aman dari perangkap Kepres, atau luput dari ciuman aparat KPK, kepolisian dan kejaksaan. Modus yang dikeluarkan polanya bermacam-macam.
Pertama, oknum pejabat berkoalisi dengan berbagai oknum asosiasi kontraktor dan konsultan dalam menentukan syarat-syarat tambahan dalam kegiatan tender selain yang diatur dalam Kepres No. 80. Misalnya, tiap peserta tender harus mencantumkan kartu atau surat keanggotaan salah satu asosiasi pengusaha, kontraktor atau konsultan. Dengan begitu, hanya kontraktor atau pengusaha yang masuk menjadi anggota asosiasi atau organisasi tersebut yang boleh ikut dalam tender terbuka. Padahal dalam Kepres No. 80 yang menjadi dasar pijakan hukum yang lebih kuat, hal tersebut tidak menjadi persyaratan.
Kedua, membangun kolaborasi antara oknum pejabat dengan anggota dewan dalam menetapkan judul proyek di dalam daftar isian proyek (DIP) atau mengesahkan pengeluaran uang Negara melalui persetujuan anggota dewan secara kolektif. Dengan begitu, oknum pejabat merasa mendapat legitimasi dan perlindungan politik ketika melakukan korupsi dari nilai proyek yang dikerjakan. Inilah yang terjadi dalam kasus korupsi Al Amin Nasution. Atau kasus korupsi “berjamaah” yang dilakukan pejabat Kabupaten Pandegelang dengan Anggota DPRD dimana Bupati dan anggota dewan sama-sama menyepakati peminjaman dana sebesar 200 milyar ke Bank Jabar yang kemudian dipertanyakan keabsahannya.
Ketiga, membuat komitmen di muka dengan menentukan nilai cash-back. Sebelum salah satu peserta tender dimenangkan, si pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan panitia pengadaan barang dan jasa membuat kesepakatan dengan calon pemenang tender tentang seberapa besar cash-back yang akan diberikan ke instansi. Kisarannya rata-rata di angka 20-30 persen per proyek. Kadang tidak melihat besar kecilnya nilai proyek yang ditenderkan. Agar calon yang dijagokan bisa lolos dari seleksi tender, panitia pengadaan barang mencari-cari kesalahan pesaing, mulai dari kesalahan administrasi, teknis, aritmatika tulisan dll.
Keempat, dengan menggunakan pola “pinjam bendera”. Mekanisme tender secara formal tetap dilakukan, tetapi perusahaan-perusahaan yang ikut dalam proses tender sebelumnya sudah dikondisikan bahwa perusahaan mereka sifatnya hanya dipinjam dengan fee dua–tiga persen bagi perusahaan pendamping dan lima persen bagi perusahaan yang dimenangkan. Kemudian yang mengerjakan kegiatan proyek adalah “orang-orang dalam” pemerintahan sendiri. Sehingga tidak aneh jika ada seorang kontraktor yang memiliki banyak perusahaan mendapat keuntungan melimpah tiap tahun tanpa bekerja apa-apa, cukup meminjamkan perusahaannya kepada oknum pejabat di sebuah pemerintah daerah (Pemda).
Kelima, di instansi tertentu di sebuah departemen atau lembaga Negara, tindakan korupsi dilakukan melalui mekanisme program ”sumbangan” atau “bantuan” untuk kegiatan berupa pembangunan fisik sarana pendidikan, pelatihan, atau bentuk bantuan pembukaan lapangan usaha baru. Pola ini memungkinkan pengeluaran dana pemerintah di instansi tersebut terbebas dari kewajiban untuk ditenderkan secara terbuka sebagaimana diatur Kepres. Pihak rekanan cukup hanya menyerahkan sebuah dokumen yayasan atau lembaga non-profit dengan persyaratan cukup sederhana: Akte yayasan atau lembaga, NPWP, keterangan domisili, dan nomor rekening. Itupun seringkali hanya dipinjam benderanya saja. Yang melaksanakan kegiatan penyaluran sumbangan dalam berbagai bentuknya biasanya para oknum pejabat di lingkungan instansi pemerintah sendiri.
Keenam, penyerahan uang dalam bentuk cash. Mengingat kemampuan KPK saat ini dianggap makin canggih dalam mengendus praktek korupsi, maka tindakan korupsi yang dilakukan oknum pejabat saat ini pun makin canggih dan hati-hati jangan sampai tercium pejabat KPK, pers atau lembaga pemantau lainnya. Dalam menerima dana hasil negoisasi dan akal-akalan dengan rekanan, para pelaku tidak mau menerima dana dalam bentuk cek, atau transfer malalui rekening pribadi. Melainkan harus dalam bentuk cash langsung, seberapa besar pun uang hasil korupsi tersebut. Seperti yang dipraktekan oleh Urip dari Kejaksaan Agung RI dan Artalyta dalam kasus BLBI.
Nilai uang dari APBN dan APBD dari tahun ke tahun terus naik dan membengkak jumlahnya, tetapi angka kemiskinan relatif belum berkurang, pembangunan infrastruktur jalan tiap tahun tambal sulam karena kualitas pembangunan jalan yang sangat buruk. Tarif angkutan, tol, listrk, PDAM, telepon terus naik, sementara pelayanan publik yang diberikan pemerintah secara umum belum atau masih jauh dari kata memuaskan. Jauh panggang dari pada api***