Kamis, 26 Maret 2009

ARTIKEL


KETIKA MUSIM LELANG = PROYEK TIBA

Oleh : Budi Usman,Ketua Presedium Bakor Tangerang Utara.


Apa pun modusnya, pembocoran anggaran proyek tidak akan sangat sulit jika tidak dilakukan secara berjemaah. Kalau bermain sendiri, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa. Alih-alih mendapatkan untung, Anda malah bisa dijebak dan dijerat hukum. Biar aman dan untung, harus berkolusi dengan pejabat di departemen/dinas via pemimpin proyek hingga ke para kasir di kantor kas agar tagihan dana proyek lancar. Belakangan ini jasa oknum anggota Wakil Rakyat pun diperlukan agar sebuah proyek dapat disetujui dalam APBN dan APBD.
Asas profesionalisme tidak laku dalam modus itu. Yang terpenting, ada hubungan ayah-anak atau bentuk kekerabatan lainnya, hubungan karena dari partai politik yang sama atau karena si pengusaha donatur partai, anggota kelompok atau kedekatan pengusaha dengan pejabat tinggi negara. Dengan pendekatan inilah si Badu bisa menjadi ketua panitia pengadaan, si Udin menjadi pemimpin proyek, dan si Poltak menjadi pemasok barang atau jasa yang dibutuhkan departemen. Semua yang masuk jaringan hubungan atau kedekatan itu harus mendapatkan bagiannya. Dari petinggi dinas atau SKPD hingga para kasir.
Menurut Bambang Soesatyo Ketua Umum Asosiasi Rekanan Pengadaan Barang dan Distributor Indonesia Contoh kasus yang paling nyata tentang praktek korupsi dalam pengadaan barang dan jasa kebutuhan pemerintah adalah kerapuhan aspal jalan-jalan raya di Jakarta serta praktek pelanggaran tata ruang yang gila-gilaan dalam beberapa tahun terakhir ini. Curah hujan yang rendah sekalipun dengan cepat menimbulkan genangan air pada hampir semua ruas jalan, yang kemudian menyebabkan jalan dengan cepat berlubang.
Dalam dua contoh kasus ini, bisa dilihat bagaimana para birokrat negara atau pemerintah daerah tutup mata (kolutif) terhadap praktek menurunkan spesifikasi barang dan mutu pekerjaan yang dilakukan para kontraktor maupun konsultan proyek. Modus korupsi seperti ini sudah meluas. Maksudnya, dipraktekkan di hampir semua departemen atau lembaga negara dan pada semua pemerintahan daerah.
Menyedihkan karena kebocoran akibat praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme itu masih berlangsung hingga kini. Pada 2000-an sekarang, nilai riil kebocoran APBN dan APBD per tahun anggaran bisa mencapai kisaran Rp 60-70 triliun. Jumlah ini ekuivalen 20 persen anggaran pengadaan barang dan jasa per tahun. Maka tidak aneh jika sekitar 80 persen dari 20 ribu pengaduan tindak pidana korupsi yang masuk ke Komisi Pemberantasan Korupsi menyangkut pelanggaran terhadap Keputusean Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Proyek Pengadaan Barang dan Jasa Kebutuhan Pemerintah.

Dari hasil kajian ICW pada 2005-2008, terungkap bahwa mekanisme pelaksanaan proyek yang memberikan keistimewaan kepada salah satu pihak melalui penunjukan langsung dianggap oleh pejabat tinggi bukan merupakan pelanggaran yang serius. Padahal hal itu dilarang secara tegas dalam Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah mengingat nilai proyek di atas Rp 50 juta harus melalui mekanisme pelelangan (tender). Dari temuan ICW, terdapat 43 kasus yang terindikasi korupsi di sektor pengadaan, yang modusnya menggunakan penunjukan langsung.

Selain indikasi korupsi yang terjadi dengan melakukan penunjukan langsung, modus korupsi lainnya yang kerap terjadi pada proses pengadaan adalah praktek markup (48 kasus), pemerasan (50 kasus), penyimpangan kontrak (1 kasus), dan proyek fiktif (8 kasus). Banyaknya modus korupsi yang terjadi pada sektor pengadaan menunjukkan masih buruknya sistem akuntabilitas dan transparansi pemerintah serta tidak berjalannya sistem pencegahan yang efektif untuk meminimalisasi terjadinya praktek korupsi di sektor tersebut.

Dengan kata lain, mekanisme kerja, tradisi, dan perilaku birokrasi yang sarat dengan perburuan rente masih menjadi penyakit serius yang menghambat pemerintah yang bersih. Hal ini mengingat ancaman nyata dalam korupsi pengadaan adalah buruknya kualitas barang/jasa yang dihasilkan sehingga tidak dapat melayani kepentingan publik secara efektif dan efisien. Demikian halnya dengan pemborosan anggaran yang terjadi karena penyusunan anggaran proyek yang digelembungkan. Dalam konteks ini, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan.

Fenomena tersebut tidak hanya dapat dilihat pada modus korupsi yang terjadi, tapi juga dapat diketahui dari pemetaan sektor-sektor yang selama ini rawan terjadinya korupsi. Dari data media massa yang dikumpulkan selama 2005, diketahui bahwa korupsi di sektor pengadaan barang/jasa menempati posisi tertinggi (66 kasus). Diikuti kemudian oleh sektor anggaran Dewan (58 kasus) dan infrastruktur (22 kasus). Yang terakhir ini bisa dikatakan memiliki keterkaitan dengan isu korupsi dalam pengadaan barang/jasa mengingat sebagian belanja pemerintah dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur.

Seperti dirilis oleh Adnan Topan Husodo, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch ( Koran Tempo, 18 Juli 2006) Korupsi politik adalah sebagaimana disebutkan di atas, inti dari korupsi pengadaan barang dan jasa adalah penyuapan. Penyuapan dapat dideskripsikan sebagai mekanisme saling menukar sumber daya kekuasaan dan uang. Penjelasan lebih jauhnya, sumber daya kekuasaan mewujud dalam kewenangan, otoritas, informasi, jumlah, dan besarnya proyek yang menjadi domain pejabat, sedangkan kekuasaan uang ada pada diri pelaku usaha/pebisnis/pengusaha.

Karena itu, memandang korupsi pengadaan barang/jasa tidak serta-merta hanya dianggap sebagai gejala penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur birokrasi belaka, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari memperoleh sumber daya politik dan sumber daya ekonomi. Dengan kata lain, korupsi pengadaan bukan saja bicara soal korupsi birokrasi, melainkan bersinggungan erat dengan korupsi politik. Pertautan keduanya sungguh jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar