Oleh : Budi Usman,Aktifis Pantura dan mantan Wakil Ketua Panwaslu Kabupaten Tangerang
Posisi pegawai negeri sipil (PNS) yang strategis selalu menjadi incaran partai politik. Sehingga, sejak era reformasi PNS dilarang terlibat dan melibatkan diri sebagai anggota maupun pengurus parpol demi menjaga netralitas sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Benarkah pembatasan itu efektif….. ?
Upaya-upaya tidak terpuji dalam menggiring Pegawai Negeri Sipil (PNS) memberikan suaranya kepada Caleg dan Parpol tertentu semakin kental terasa. Apa pun motif, dalih atau alasannya, tindakan Bupati atau siapa saja, dalam mempengaruhi netralitas PNS pada pemilu, tidak dibenarkan. Sebab, netralitas PNS merupakan perintah hukum, yang harus ditaati PNS itu sendiri.
Politisasi Birokrasi
Netralitas PNS dalam pemilu legeslatif, secara tegas dinyatakan
• "Partai politik peserta pemilu dan / atau calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dilarang melibatkan pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai peserta kampanye, dan juru kampanye dalam pemilu".
• "Pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, dan kepala desa atau sebutan lain, dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama waktu kampanye".
• "Yang dimaksud dengan pejabat negara dalam undang-undang ini, meliputi presiden, wakil presiden, menteri/kepala lembaga pemerintahan nondepartemen, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota.
Aneh bin ajaib, bahkan sangat disayangkan, sekaligus amat memalukan, mengapa sedemikian ketatnya rambu hukum untuk menjaga netralitas PNS dalam pemilu legeslatif, tidak juga mampu meniadakan aksi pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, termasuk kepala desa atau sebutan lain, yang bersifat politisasi birokrasi.
Aksi politik tidak terpuji yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan (birokrasi negara) itu, bisa merusak netralitas PNS dalam pemilu legeslatif. Mengapa? Karena kultur birokrasi negara kita, sarat ciri feodalisme, paternalisme dan primordialisme.
Ketiga ciri tersebut, tampak terutama dalam watak pribadi rata-rata bawahan yang bersifat sub-ordinasi bawahan terhadap atasan. Pegawai bawahan, takut melakukan perlawanan terhadap tindakan atau perintah atasan, walau jelas-jelas bawahan menyadari tindakan atau perintah atasan mereka merupakan pelanggaran hukum.
Selain itu, kendati PNS sadar mandat hukum mereka, adalah untuk bersikap netral dalam pesta demokrasi, tetapi ketika atasan, khususnya yang mempunyai kewenangan memberi sanksi administratif kepada bawahan, maka upaya Bupati menggiring PNS untuk memilih tanda gambar (caleg/parpol) tertentu, membuat penggunaan hak politik PNS di bilik suara tidak sesuai tuntutan hati nuraninya, tetapi sesuai perintah atasan.
Tim Sukses
Seharusnya, hak politik PNS yang memang hanya di bilik suara itu, dijunjung tinggi seluruh pejabat negara, struktural dan fungsional dalam jabatan negeri, maupun kepala desa (sebutan lain), sesuai perintah undang-undang. Sebab, berbeda dengan anggota TNI dan Polri, yang -sesuai perintah hukum- tidak menggunakan hak suara, PNS (masih) berhak menggunakan hak politik warga negara, di bilik suara.
Selain di bilik suara, PNS tidak boleh melibatkan diri secara langsung atau tak langsung, sengaja atau tak sengaja, dalam seluruh bentuk keberpihakan PNS kepada peserta pemilu.
Konsisten dengannya, setiap PNS tidak dibenarkan oleh hukum untuk menjadi tim sukses atau tim kampanye yang mana pun. PNS pun dilarang ikut dalam kampanye pemilu, baik pemilu legesIatif maupun pemilihan presiden.
PNS juga tidak diizinkan mempengaruhi warga masyarakat untuk memilih, atau tidak memilih parpol atau perorangan peserta pemilu legislatif, sebagaimana tidak juga diperkenankan menonjolkan kelebihan caleg tertentu, sembari menjelek-jelekkan pasangan calon lainnya.
Kejahatan Politik
Sikap netral PNS dalam Pemilu mendatang, merupakan prasyarat mutlak berlangsungnya pemilihan umum yang bersifat luber dan jurdil. Sebab, kalau ada PNS yang bersikap tidak netral, apalagi sampai terang-terangan berpihak kepada Caleg tertentu, maka penggunaan fasilitas negara di bawah kendali kekuasaannya, dapat terarah (secara prioritas) bagi pemenangan caleg atau parpol tertentu.