Jumat, 12 Juni 2009

PASTIKAN SEKOLAHMU BEBAS PUNGUTAN Gerakan Antikorupsi agar Sekolah Gratis



PASTIKAN SEKOLAHMU BEBAS PUNGUTAN
Gerakan Antikorupsi agar Sekolah Gratis

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa salah satu tujuan didirikan negara Indonesia adalah mencerdaskan seluruh rakyat. Cara yang digunakan untuk mencapainya dengan memanfaatkan institusi pendidikan seperti sekolah atau perguruan tinggi. Melalui institusi tersebut negara diberi kewajiban untuk membuka akses bagi semua anggota masyarakat agar memperoleh layanan pendidikan bermutu.

Secara lebih tegas hal tersebut dinyatakan dalam Pasal 30 amandemen keempat UUD 1945. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Kemudian agar benar-benar menjamin kewajiban tersebut dilaksanakan dengan baik, negara diharuskan menyediakan anggaran untuk sektor pendidikan. Jumlahnya tidak boleh kurang 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

Hal yang sama ditegaskan dalam undang-undang sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. Pemerintah dan pemerintah daerah diwajibkan memberi layanan dan kemudahan, serta menjamin pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa ada diskriminasi. Karenanya pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun

Kedua aturan tersebut dengan jelas menerangkan bahwa mutu dan bebas biaya dalam pelayanan pendidikan menjadi satu bagian. Artinya, selain harus membiayai seluruh kegiatan operasional pendidikan, pemerintah pun bertanggungjawab dalam peningkatan mutu guru, ketersediaan buku ajar, serta peralatan dan perlengkapan belajar mengajar.

Namun, dari hasil riset Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak tahun 2003 hingga 2008, di beberapa daerah, antara lain; Jakarta, Tangerang, Garut, Lombok, Makasar, Padang, Banjarmasin, Sumba, Bau-Bau, dan Padang, kenaikan anggaran pendidikan justru diikuti kenaikan biaya yang ditanggung oleh orang tua murid untuk penyelenggaraan sekolah.

Pada tingkat SDN, orang tua murid pada beberapa daerah tersebut dalam satu tahun mengaku mengeluarkan total biaya sebesar Rp. 4,7 juta Sebanyak Rp 1.5 juta untuk biaya yang langsung dikeluarkan bagi sekolah, seperti membayar iuran komite, pembelian buku pelajaran, pendaftaran ulang atau membayar kegiatan ekstrakurikuler. Sisanya Rp 3,2 juta, untuk membiayai kegiatan pendidikan yang tidak secara langsung diberikan kepada sekolah. Contohnya, transportasi ke sekolah, membeli tas, serta seragam.

Biaya pendidikan yang mahal dengan sendirinya menghambat warga, terutama kelompok miskin untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Tingkat partisipasi pendidikan akan menurun, sedangkan angka putus sekolah makin bertambah. Targetan menyelesaikan program wajib belajar pada tahun 2008 dipastikan tidak tercapai.

Pada sisi lain, walaupun orang tua telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam penyelenggaraan pendidikan, pelayanan yang mereka terima masih buruk. Tergambar dari berbagai indikator penunjang layanan seperti bangunan sekolah, peralatan dan perlengkapan mengajar, serta pengajarnya berada dalam keadaan yang buruk. Ratusan ribu bangunan sekolah dalam kondisi tidak layak pakai, bahkan banyak diantaranya yang roboh. Begitupun peralatan dan perkengkapan belajar mengajar yang masih kurang. Pada sisi pengajar, selain kurang dan tidak merata, secara kualitas mayoritas guru dinilai masih bermutu rendah.

Berdasarkan data dari Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas, Pada tingkat sekolah dasar (SD) sebagai contoh, dari total guru SD sebanyak 1.234.927, sekitar 609.217 atau 49,3 persen tidak layak mengajar. Begitupun kondisi ruang belajar , dari total 865.258 ruang SD, 47,9 persen rusak, 23,3 persen diantaranya dalam kondisi rusak berat.

Telah terjadi anomali dalam pendidikan nasional. Secara logika, tambahan anggaran semestinya mampu menekan biaya yang dikeluarkan oleh orang tua murid dan mendorong perbaikan layanan pendidikan. Dalam kenyataan, walau anggaran yang disediakan negara terus bertambah, tapi dana yang dikeluarkan orang tua makin meningkat, tapi di sisi lain, pelayanan justru bertambah buruk.

Oleh karena itu, Indonesia Corruption Watch sebagai lembaga yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, mendorong partisipasi aktif warga untuk melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi, salah satunya praktek korupsi di sekolah. Saat ini ICW bekerja sama dengan Yappika, sebuah lembaga nirlaba yang mempunyai perhatian khusus kepada kebijakan pelayanan yang adil dan berkualitas, seperti pelayanan pendidikan, dan Dompet Dhuafa, lembaga nirlaba yang khidmad dalam pemberdayaan masyarakat yang kurang mampu, mencanangkan Program “Pastikan Sekolahmu Bebas Pungutan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar